Syaikh Utsaimin رحمه الله berkata:
Sesungguhnya ditiupkannya ruh setelah janin
berumur empat bulan. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ
“Lalu dikirim kepadanya seorang malaikat, lalu ia
meniupkan ruh kepadanya.”
Berdasarkan ini, maka:
1-
Apabila janin
keguguran setelah ditiupkan ruh padanya, maka ia dimandikan, dikafani,
dishalatkan, dikubur di kuburan kaum muslimin, diberi nama, dan dilakukan
aqiqah untuknya. Karena ia adalah seorang manusia, maka tetap baginya hukum
manusia dewasa.
2-
Setelah ditiupkannya ruh kepadanya,
diharamkan menggugurkannya bagaimanapun keadaannya. Apabila telah ditiupkan ruh
kepadanya, maka tidak mungkin untuk menggugurkannya, karena menggugurkan janin
tersebut dalam keadaan semacam ini menyebabkan kebinasaannya. Tidak boleh
membunuhnya karena ia adalah seorang manusia.
Apabila
ada yang berkata, “Apa pendapetmu kalau ia tetap hidup menyebabkan kematian
ibunya. Apakah ia digugurkan sehingga ibunya tetap hidup atau ia dibiarkan
sehingga ibunya binasa, kemudian janin tersebut juga binasa?
Jawab:
Kita katakan, kadang orang-orang yang menggunakan istihsan / menganggap baik
akan berpendapet dengan pendapet pertama. Akan tetapi istihsan tersebut
bertentangan dengan syariat.
Kita
berpendapet dengan yang kedua. Ini yang wajib, dengan makna tidak boleh
menggugurkannya sampai kalau para dokter berkata, “Kalau ia tetap dibiarkan
hidup, maka ibunya akan mati.”
Orang
yang berpendapet untuk menggugurkan janin tersebut berhujah dengan apabila
ibunya mati, maka janin tersebut akan mati, sehingga dua nyawa mati. Apabila
kita mengeluarkan janin tersebut, maka janin tersebut akan mati, akan tetapi
ibunya selamat.
Bantahan
untuk pendapet yang rusak ini, kita katakan:
Yang
pertama: Membunuh jiwa untuk menyelamatkan jiwa yang lain tidak boleh.
Karenanya seandainya ada dua orang dalam suatu safar di padang pasir dan tidak
ada bekal bagi keduanya. Orang pertama adalah orang tua sedangkan yang kedua
berusia sembilan belas atau dua puluh tahun. Orang yang tua sangat lapar yang
mana seandainya ia tidak makan, maka ia akan mati. Maka tidak boleh bagi orang
tua ini untuk membunuh yang kecil untuk dimakannya agar ia hidup, dengan
kesepakatan kaum muslimin.
Seandainya
anak kecil tersebut meninggal dunia karena kelaparan dan orang tua tersebut
masih hidup, maka ia mungkin memakannya sehingga ia tetap hidup atau ia tidak
memakannya sehingga ia mati. Apakah boleh baginya untuk memakan badan anak
kecil tersebut?
Jawab:
Madzhab Imam Ahmad رحمه الله
dalam pendapet yang masyhur darinya bahwa tidak boleh memakannya. Karena Nabi ﷺ bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الميِّتِ كَكَسْرِهِ حَيَّاً
“Mematahkan
tulang orang mati semisal mematahkannya tatkala ia hidup.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah). Menyembelih mayit semisal menyembelihnya tatkala ia
hidup.
Pendapet
kedua dalam masalah ini: Boleh memakannya sebatas apa yang bisa menyelamatkannya
dari kematian, karena keharaman orang hidup lebih besar daripada keharaman seorang
mayit.
Yang
pertama kita katakan: Seandainya kita menggugurkan janin sehingga ia mati, maka
kita yang telah membunuhnya. Dan seandainya kita membiarkannya hidup, maka ibunya
akan mati, lalu ia akan ikut mati. Yang mematikan keduanya adalah Alloh, yaitu
bukan perbuatan kita.
Yang
kedua: Tidak mengharuskan matinya ibu, akan menyebabkan kematian janin,
terlebih di zaman kita sekarang. Karena sangat mungkin untuk dilakukan operasi
cepat untuk mengeluarkan janin tersebut sehingga ia tetap hidup. Karenanya
sebagian para dokter hewan pada kambing dan semisalnya, apabila induk kambing
mati, mereka bisa mengeluarkan janin kambing tersebut sebelum janinnya mati.
Demikian
pula kita katakan, seandainya janin tersebut mati di perut ibunya dari sisi
Alloh, tidak mengharuskan ibunya mati juga. Maka janin tersebut dikeluarkan karena
ia mayit dan ibunya tetap hidup.
Kesimpulan:
Apabila telah ditiupkan ruh kepada janin, maka tidak boleh menggugurkannya,
bagaimanapun keadaannya.
شرح الأربعين النووية